Persoalan ini sebenarnya sudah lama dibicarakan. Akan tetapi perusahaan sebagai pemilik modal (oligarki) rasa-rasanya kebal akan hukum, sehingga tidak ada penanganan yang pasti dari pemerintah itu sendiri. Seperti yang sudah kita pahami bersama bahwa pemilik modal (oligarki) bisa menekan kekuasaan yang mengendalikan kebijakan.
Salah satu perusahaan yang menjadi sasaran aksi dari institusi HKBP tersebut ialah Toba Pulp Lestari (TPL) yang selama ini menjadi dalang dibalik penggundulan hutan yang ada di Sumatera Utara. Aksi ini menimbulkan pro dan kontra baik dari internal maupun eksternal dari HKBP itu sendiri.
Pihak yang pro menganggap itu adalah gambaran teladan dalam menjaga kelestarian alam, akan tetapi pihak yang kontra menganggap bahwa aksi itu bukan tugas dari institusi HKBP, sebab lahan hutan yang menjadi tempat TPL beroperasi merupakan hutan adat bukan di lahan institusi agama, jadi HKBP sebagai institusi keagamaan seharusnya tidak perlu bersuara dalam kasus ini. Selain itu pihak yang kontra juga berpandangan bahwa Aksi ini hanya untuk mencari sensasi semata, tanpa memikirkan nasib keluarga dari pekerja yang ada di Toba Pulp Lestari (TPL).
Pada dasarnya HKBP yang merupakan institusi keagamaan sedang menjalankan ’suara-suara kenabian’ dalam mengubah konstruksi masyarakat dalam melihat kasus perusakan alam yang ada di Indonesia khususnya Sumatera Utara. Sebagaimana yang tertulis dalam Kejadian 2: 15 ”Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu”.
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa tugas manusia ditempatkan di bumi yaitu untuk menjaga dan memeliharanya dengan baik.
Dalam wawancaranya dengan Kompas TV pada 8 Mei 2025, Ephorus (Pimpinan tertinggi HKBP), Pdt. Victor Tinambunan menyebutkan bahwa aksi itu adalah wujud penjagaan alam, supaya tidak ada bencana yang lebih besar.
Ia menambahkan bahwa banyak penelitian yang menyebutkan bahwa deforestasi akan menyebabkan bencana seperti banjir dan longsor yang berpotensi menelan banyak korban jiwa. Banyak penelitian yang menjelaskan dampak negatif penggundulan hutan yang merusak alam. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Yuni Yolanda pada tulisannya yang berjudul ”Pengaruh Deforestasi Terhadap Temperatur, Kelembaban, Curah Hujan dan Penyinaran Matahari: Studi Kasus di Sumatera Utara” yang terbit pada tahun 2025.
Penelitian ini menjelaskan bahwa dampak deforestasi di Sumatera Utara mengakibatkan masalah ekologis dan masalah sosial-ekonomi bagi masyarakat. Ketika hutan dikonversi menjadi lahan terbuka, maka kapasitas ekosistem dalam menyerap panas akan menurun drastis yang pada akhirnya akan menimbulkan kenaikan temperatur, penurunan kelembaban, perubahan curah hujan, dan peningkatan radiasi matahari.
Pada saat ini, alam seakan sepakat pada aksi dari institusi HKBP tersebut. Berita mencekam terpapar di banyak media nasional yang memaparkan insiden banjir di 3 provinsi yang ada di Pulau Sumatera. Banjir tersebut merendam Provinsi Sumatera Utara yang menjadi tempat aksi HKBP dalam menyuarakan penutupan perusahaan yang merusak lingkungan, dan 2 provinsi lainnya yaitu Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Barat.
Insiden ini telah memakan ratusan nyawa, ribuan orang terluka, ribuan bangunan rusak, serta ratusan ribu orang mengungsi dan yang pasti bangunan Gereja HKBP juga terdampak kerusakan akibat banjir tersebut.
Dengan hati yang penuh duka, Ephorus (Pimpinan tertinggi HKBP) menginstruksikan untuk membuka open donasi di lingkup internalnya dalam membantu korban dalam bencana tersebut.
Donasi tersebut dikumpulkan melalui seluruh elemen gereja HKBP yang ada di segala penjuru dunia. Namun, pimpinan gereja HKBP juga menginstruksikan bahwa gereja HKBP yang terdampak banjir, dilarang untuk menerima bantuan dari lembaga atau komunitas yang berafiliasi dengan perusahaan yang merusak lingkungan.
Instruksi ini secara sah dinyatakan oleh pimpinan HKBP melalui surat edarannya pada tanggal 02 Desember 2025 yang berisikan ”Seruan Moral Menolak Bantuan dari Pihak Perusak Lingkungan”. Lagi dan lagi tindakan ini mengalami pro dan kontra dalam masyarakat. Bagi pihak yang pro, menganggap bahwa itu adalah sikap komitmen HKBP untuk tidak toleransi bagi pihak-pihak yang merusak alam. Namun, bagi pihak yang kontra, sikap ini adalah wujud arogansi dari institusi HKBP. Mereka menganggap bahwa institusi ini tidak bisa menerima atau menghargai perbuatan baik yang dilakukan orang kepadanya.
Penolakan bantuan dari pihak-pihak yang dianggap merusak lingkungan merupakan model perbaikan konstruksi yang selama ini tersimpan rapi dalam benak masyarakat. Bantuan sebagai wujud empiris yang mereka berikan kepada korban bencana sering menjadi cara mereka untuk mencuci tangan. Sejatinya, bencana terjadi oleh karena tindakan mereka yang melakukan perusakan alam, sudah semestinya mereka melakukan pertanggung jawaban secara substansi yaitu dengan cara memperbaiki alam yang sudah mereka rusak, supaya kejadian yang sama tidak terulang kembali.
Sudah menjadi rahasia umum pihak oligarki yang merusak alam cenderung mendapatkan nikmat bagi dirinya sendiri tanpa memikirkan kemaslahatan manusia lainnya. Mau sampai kapan masyarakat hanya mendapatkan remah-remah kenikmatan oligarki berupa bantuan yang hanya diberikan ketika ada bencana?
Artikel ini Ditulis Oleh :
Berkat Exsaudi S.
(Mahasiswa Magister Antropologi UGM)
