Apakah Kata "Perdamaian" Bisa Menghidupkan Kembali Jiwa Yang Mati?

Adsense

Peunawa

Iklan Berjalan

Iklan Slide

Apakah Kata "Perdamaian" Bisa Menghidupkan Kembali Jiwa Yang Mati?

5/24/2023

Oleh : Muhammad Afdhal Rahmatillah Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Opini - Bercerita tentang kejahatan manusia adalah objek paling tepat untuk dijadikan tokoh utama. Makhluk hidup satu ini dibekali naluri membunuh, menindas, menghina, dan segala bentuk keburukan ada padanya. 

Tapi naluri buruk ini tidak selamanya buruk tergantung pada apa yang dibunuh, apa yang ditindas, dan apa yang dihina. Peristiwa di Jamboe keupok (Aceh Selatan,2003) adalah bentuk kejahatan yang terhitung sempurna.

Penyiksaan, pencurian, penindasan, pembunuhan, dan yang paling jahat adalah upaya melindungi segela bentuk kejahatan ini. Masyarakat sipil bukanlah boneka penumbuh rasa takut bagi kelompok pemberontak (GAM) agar mau menyerah. 

Semua perbuatan keji ini adalah kesalahan TNI dan pemerintah yang salah dalam mengambil langkah penyelesain konflik. Begitulah sekiranya opini masyarakat luas tentang tragedi di Jamboe Keupok. 

Masyarakat menuntut keadilan yang seadil-adilnya bagi para korban dan menghukum seberat-beratnya bagi para pelaku. Penulis tidak menulis ulang alur cerita pembantaian ini, pada intinya masyarakat sipil disiksa dan dibunuh oleh TNI tanpa belas kasih. 
 
Tapi, apakah ada yang pernah bertanya?. Kenapa cuma 16 yang dibunuh? Padahal kan bisa saja diluluh lantahkan seluruh manusia di desa itu dengan senapan yang mereka punya jika memang tujuan awal para TNI itu datang untuk membunuh.
Bukankah bisa saja 16 korban itu adalah daftar anggota GAM yang TNI cari ? Lagian jika ditanya, mana ada maling ngaku maling.
Bagaimana dengan para anggota GAM yang bersembunyi di desa-desa, bukankah mereka yang menyebabkan TNI menggeledah desa ? Kenapa hanya TNI yang disalahkan.
Siapa informan yang menyampaikan berita itu ke TNI ? Bisa saja cuak itu mantan anggota GAM yang telah di sogok dan berkhianat sehingga membocorkan informasi keberadaaan GAM ke TNI.
Pertanyaan-pertanyaan ini lahir bukan sebagai bentuk pembelaan bagi para pembunuh, dan tidak juga membenarkan bahwa GAM tidak ikut bersalah dalam tragedi ini. “Seharusnya seperti itu”
Para TNI bisa saja menggunakan dalih mengamankan kedaultan dan keutahan NKRI untuk membunuh para pemberontak dan yang membantu pemberontak, hal ini di lindungi oleh undang-undang pada saat itu.
Tulisan ini tidak berbicara siapa yang salah dan siapa yang benar. Penulis hanya menjelaskan sedikit bagaimana seharusnya sejarah itu dinilai. Jika hanya melihat sisi para korban tentu saja ini adalah pembantain, tapi jika kita memakai kacamata pemerintah ini adalah upaya mereka menjaga kedaulatan negara. Jadi, siapa yang sebenarnya salah ?
Yang salah adalah menjadikan sesuatu yang keji sebagai pembenaran melakukan kebaikan. Membunuh yang berbuat salah saja masih dianggap sebagai pembunuh, apalagi membunuh yang belum tentu bersalah. 

Pada tragedi Jambo Keupok kekejaman tidak selesai pada hal membunuh, tapi menyiksa, menindas, dan membinatangkan manusia adalah sesuatu yang seharusnya tidak pernah menjadi solusi perdamaian. 

Memang sekarang Aceh dalam keadaan yang damai setelah perjanjian Mou Helsinki, tapi bagaimana dengan para keluarga korban yang dibunuh padahal belum tentu mereka bersalah, apakah kata “perdamaian “ bisa menghidupkan kembali jiwa yang mati ?
Jika bisa, maka sungguh akan banyak TNI yang di penjara atas kesaksian para mayat hidup. Tapi sayangnya ini adalah hal yang mustahil sama seperti halnya jika masyarakat sipil menuntut keadilan bagi hak-hak mereka (para korban) yang di renggut pada tragedi operasi jaring merah. 

Kurang tepat rasanya jika peristiwa di Jamboe Keupok hanya dikatakan tragedi kejahatan manusia, ini adalah sejarah pembantaian yang tidak tertulis di buku IPS anak sekolahan.
Jika tidak bisa menghidupkan kembali paling tidak bertanggung jawab dan ganti rugi, kata maaf saja tidak bisa mengisi kokosongan batin akibat kehilang orang yang disayang. []


Penulis : Muhammad Afdhal Rahmatillah

Editor : Murhaban