Di tengah situasi darurat bencana yang masih menyelimuti Aceh sepanjang tahun 2025, Pemerintah Kabupaten Bireuen memperingati 21 tahun Tsunami Aceh dengan khidmat dan penuh makna.
Peringatan tersebut dilaksanakan di Masjid Agung Sultan Jeumpa Bireuen, Rabu (24/12/2025), dihadiri Wakil Bupati Bireuen Ir. H. Lazuardi, MT, unsur Forkopimda, Sekretaris Daerah, para pejabat tinggi pratama, pejabat eselonering, pegawai fungsional, serta seluruh aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemkab Bireuen.
Zikir dan tausiah agama menjadi inti kegiatan sebuah penanda bahwa refleksi bencana di Aceh selalu berangkat dari kesadaran spiritual.
Dua puluh satu tahun lalu, tsunami 2004 mengubah wajah Aceh dan cara kita memandang bencana. Hari ini, ketika banjir dan longsor kembali menempatkan Aceh dalam status darurat, peringatan tsunami terasa lebih dari sekadar agenda seremonial. Ia hadir sebagai cermin memantulkan pertanyaan lama yang kembali relevan: sejauh mana pelajaran itu benar-benar kita amalkan.
Masjid Agung Sultan Jeumpa menjadi ruang hening untuk merenung. Zikir yang dilantunkan bukan hanya doa untuk para korban masa lalu, tetapi juga ikhtiar batin menghadapi ujian hari ini.
Tausiah agama mengingatkan bahwa bencana bukan sekadar kehendak alam, melainkan panggilan untuk memperbaiki hubungan manusia dengan Tuhan, sesama dan lingkungan. Di tengah banjir yang berulang, pesan ini menemukan konteksnya.
Namun refleksi tsunami tak boleh berhenti pada spiritualitas semata. Darurat bencana 2025 membuka kembali pekerjaan rumah yang belum tuntas: mitigasi yang belum kokoh, tata ruang yang rapuh dan infrastruktur yang belum sepenuhnya tangguh menghadapi perubahan iklim.
Kehadiran jajaran pimpinan daerah dan ASN dalam peringatan ini semestinya dimaknai sebagai komitmen moral bahwa doa harus berjalan seiring dengan kebijakan yang berani dan berpihak pada keselamatan rakyat.
Bireuen, seperti daerah lain di Aceh, memiliki memori kolektif yang kuat tentang kehilangan dan kebangkitan. Modal sosial itu kembali terlihat ketika warga saling menguatkan di pengungsian.
Tetapi solidaritas tidak boleh terus menjadi penyangga utama atas kelemahan sistem. Tsunami mengajarkan bahwa rekonstruksi fisik harus dibarengi rekonstruksi cara berpikir: dari reaktif menjadi preventif.
Peringatan 21 tahun tsunami di Masjid Agung Sultan Jeumpa adalah pengingat yang tepat di waktu yang genting. Ia menegaskan bahwa darurat hari ini bukan kebetulan sejarah, melainkan ujian lanjutan.
Jika refleksi ini diterjemahkan menjadi langkah nyata, perencanaan yang disiplin, mitigasi berbasis ilmu dan tata kelola yang konsisten, maka duka masa lalu dan ujian hari ini tidak akan sia-sia.
Aceh pernah bangkit dari gelombang raksasa. Kini, di tengah bencana yang datang berulang, kebangkitan itu diuji kembali. Dan seperti zikir yang dilantunkan bersama, jawabannya terletak pada kesungguhan: antara doa yang khusyuk dan kerja yang sungguh-sungguh.
Penulis: Anwar, S.Ag, M.A.P (Kepala Dinas Pendidikan Dayah Kabupaten Bireuen)