MUNA - Sistem Presidential Threshold dimaksudkan untuk memperkuat sistem Presidensil dan demokrasi. Namun, Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menilai kondisi yang terjadi di lapangan justru sebaliknya, memperlemah.
“Kalau didalilkan untuk memperkuat sistem presidensil, agar presiden terpilih punya dukungan kuat di parlemen, justru secara teori dan praktik, malah membuat mekanisme check and balances menjadi lemah,” ujar LaNyalla pada Simposium Politik; Terbunuhnya Sistem Demokrasi Akibat Presidential Treshold dan Kepentingan Partai Politik yang diselenggarakan UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Sabtu (20/11/2021).
Pada acara yang diselenggarakan secara virtual itu, LaNyalla mengatakan partai politik besar dan gabungan partai politik menjadi pendukung presiden terpilih. Sehingga yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan partai politik melalui fraksi di DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah.
“Termasuk secepat kilat menyetujui apapun kebijakan pemerintah. Juga pengesahan perppu atau calon-calon pejabat negara yang dikehendaki pemerintah,” tambahnya.
Jika ditimbang dari sisi manfaat dan mudarat-nya, LaNyalla menilai Presidential Threshold penuh dengan mudarat. Karena, Ambang Batas pencalonan presiden menyumbang polarisasi tajam di masyarakat, akibat minimnya jumlah calon, terutama dalam dua kali Pilpres, dimana hanya ada 2 pasang calon yang head to head.
“Bagaimana kita melihat pembelahan yang terjadi di masyarakat. Antar kelompok berseteru dan selalu melakukan Anti-Thesa atas output pesan yang dihasilkan baik dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi. Puncaknya, anak bangsa ini secara tidak sadar membenturkan Vis-à-vis Pancasila dengan Islam. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat Anti-Thesa, untuk menjelaskan identitas dan posisi. Padahal tidak satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan Islam,” paparnya.
Bagaimana bangsa ini disuguhi kegaduhan nasional. Sesama anak bangsa saling melakukan persekusi. Saling melaporkan ke ranah hukum. Seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran. Belum lagi tradisi bar-bar seperti sweeping bendera, sweeping forum diskusi dan lain-lain, yang sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi.
“Inilah dampak buruk penerapan Ambang Batas Pencalonan Presiden, atau dalam kasus tertentu juga terjadi di ajang pemilihan kepala daerah. Dimana rakyat dihadapkan hanya kepada dua pilihan,” tukas LaNyalla lagi.
LaNyalla tak memungkiri jika berkongsi dalam politik adalah wajar. Namun menjadi jahat, ketika kongsi itu dilakukan dengan mendisain agar hanya ada dua pasang kandidat Capres-Cawapres, yang berlawanan dan memecah bangsa, atau sebaliknya seolah-olah berlawanan, tapi sudah didesain siapa yang bakal menang.
“Jika polarisasi rakyat dan kegaduhan terjadi dalam skala nasional serta masif, siapa yang diuntungkan? Jelas para Oligarki yang sibuk menumpuk kekayaan dengan menguras sumber daya di negeri ini. Karena faktanya, hampir separo sumber daya alam dan kekayaan negeri ini dikuasai segelintir orang saja. Padahal para pendiri bangsa bercita-cita untuk mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” katanya.
Senator Jawa Timur itu juga menegaskan Ambang Batas Pencalonan tidak sesuai keinganan masyarakat. Karena Presidential Threshold mengerdilkan potensi bangsa dimana sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin. Tetapi, kemunculannya digembosi aturan main tersebut.
“Rakyat menjadi berkurang pilihannya karena semakin sedikit kandidat yang bertarung. Tentu saja hal itu semakin mengecilkan peluang munculnya pemimpin terbaik. Padahal entitas civil society yang ikut melahirkan bangsa dan negara ini seharusnya juga diakomodasi. Oleh karena itu, saya keliling ke banyak kampus membicarakan soal ini. Mahasiswa sebagai kalangan terdidik, dan agen perubahan memiliki tanggung jawab moral untuk memikirkan masa depan negara ini, demi Indonesia yang lebih baik,” tegasnya.(***)