Dengan Disahkannya Undang undang Nomor 6 Tahun 2014 atau Lebih di kenal dengan UUDesa maka Desa mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Pusat. Alhasil, tak tanggung-tanggung Pemerintah Pusat melalui APBN menggelontorkan dana desa yang tidak sedikit.
Mulai Pada tahun 2015 dengan jumlah anggaran sebesar Rp 20,76 triliun, pada tahun 2016 menjadi Rp 46,9 triliun, 2017 - 2018 meningkat menjadi Rp 60 Triliun, 2019 meningkat lagi menjadi Rp 70 Triliun. 2020 dan 2021 Mencapai Rp 72 Triliun.
Dana desa merupakan implementasi dari program pemerintahan Presiden Jokowi untuk membangun dari pinggiran sekaligus skenario awal mengganti program yang sudah ada yaitu program PNPM sehingga menutup beberapa peluang pihak asing untuk menyalurkan dana ke daerah.
Mengelola dana desa terlihat gampang-gampang sulit, atau paling tidak ngeri-ngeri sedap. Dengan angka yang fantastis, kepala desa dan perangkatnya tidak mengelola secara baik sesuai dengan ketentuan yang ada maka harus berurusan dengan hukum. Namun jika dikelola secara baik maka desa tersebut dapat memberikan kemanfaatan bagi warga desa baik dari sisi ekonomi, infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya yang lebih baik. Bisa dibilang ini seni kemungkinan!
Hal yang menjadi atensi publik dari Dana Desa ini adalah aspek keterbukaan (transparansi) oleh Pemerintah Desa. Jika diperhatikan, hampir setiap hari pemberitaan oleh media cetak baik di Aceh maupun tingkat Nasional tidak terlepas dari isu keterbukaan Dana Desa oleh pemerintah desa, bahkan karena dianggap tidak transparan memicu aksi pemalangan kantor desa oleh warga serta pelaporan ke pemerintah daerah dan aparat penegak hukum.
Kasus kasus serupa setiap hari terjadi di sekitar kita, bahkan di beberapa daerah masih banyak pemerintah desa yang sengaja tidak melakukan publikasi dana desa sebagai bentuk transparansi pengelolaan dana desa kepada publik. meskipun ada catatan lain bahwa ada juga bukan karena sengaja tetapi murni belum paham terkait kewajiban para kepala desa yang diatur dalam regulasi.
Di lain pihak, pemerintah juga terlihat belum maksimal dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pemerintah desa yang tidak transparan, bisa karena alasan anggaran pengawasan, letak geografis dan sumber daya manusia yang terbatas. Fenomena ini menggelitik dan merisaukan sehingga penulis mengangkat diskursus ini.
Kewajiban Hukum
Secara institusional, pemerintah desa merupakan badan publik yang wajib memberikan informasi yang ada dalam penguasaannya kepada publik/ masyarakat setiap saat terkecuali, informasi yang memang dikecualikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu informasi yang dikelola oleh pemerintah desa adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) atau APBG yang bukan merupakan informasi yang dikecualikan sehingga wajib untuk diinformasikan kepada masyarakat terkhusus di wilayah kerja nya masing-masing.
Kewajiban pemerintah desa sebagai badan publik ini diatur pada Pasal 11 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik bahwa Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat yang meliputi: daftar seluruh Informasi Publik yang berada di bawah penguasaannya, tidak termasuk informasi yang dikecualikan; serta Pasal 52 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik bahwa “Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/ atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara serta-merta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/ atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan Undang-Undang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi Orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000,00 ( lima juta rupiah)”.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah harus tunduk dan patuh tidak hanya pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku melainkan juga pada AAUPB (Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik). Dalam AAUPB, salah satu asas yang wajib dipatuhi adalah asas keterbukaan yang dalam bahasa yang umum disebut sebagai transparansi.
AAUPB (Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik) dalam penyelenggaraan pemerintahan secara umum dapat kita jumpai dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi serta Nepotisme (vide pasal 3) dan Undang–undang Nomor 30 tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (vide pasal 10). Dengan dilaksanakannya asas umum ini, diharapkan dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan.
Kepatuhan terhadap AAUPB, dalam hal ini asas keterbukaan pun berlaku pada pemerintahan paling bawah yakni penyelenggaraan pemerintahan desa, sehingga kepala desa dan perangkatnya tidak bisa bertindak sewenang-wenang (onrecht matige overheidsdaad) atau setidak-tidaknya abuse of power, sebab asas ini ditegaskan secara jelas pasal 24 huruf d UU 6/2014 Tentang Desa. Lalu bagaimana bentuk implementasi asas keterbukaan ini? Bentuknya melalui publikasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), Publikasi Serapan Anggaran atau Realisasi oleh pemerintah desa itu sendiri.
Publikasi ini, merupakan manifestasi yuridis atas penyelenggaraan prinsip tata pemerintahan desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien. Sehingga, publikasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dimaknai sebagai wujud dari bentuk transparansi oleh pemerintah desa sekaligus hak konstitusional warga desa yang dijamin oleh undang-undang.
Dalam berbagai ketentuan, kewajiban transparansi ini secara konstitusional dilakukan terhadap dua pihak yakni masyarakat dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), tak terlepas dari kewajiban serupa oleh pemerintah desa kepada kepala daerah dan/ atau institusi negara lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terhadap masyarakat, dalam bentuk transparansi tersebut dilakukan secara tertulis melalui penggunaan media informasi papan pengumuman dan/ atau baliho, radio komunikasi dan media informasi lainnya (vide pasal 26 ayat (4) huruf f dan p, pasal 27, pasal 82 UU 6/2014 Tentang Desa jo pasal 52 PP 43/2014 Tentang Desa sebagimana diubah dengan PP 47/2015 jo pasal 2 ayat (1) dan pasal 40 Permendagri 113/2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa jo pasal 10 dan pasal 11 Permendagri 46/2016 Tentang Laporan Kepala Desa).
Sedangkan untuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dilakukan menggunakan mekanisme Laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan Desa akhir tahun yang disampaikan oleh Kepala Desa 3 (tiga) bulan setelah berakhir tahun anggaran (pasal 27 dan pasal 55 UU 6/2014 Tentang Desa jo pasal 48 dan pasal 51 PP 43/2014 Tentang Desa sebagaimana diubah dengan PP 47/2015 jo pasal 8 Permendagri 46/2016 Tentang Laporan Kepala Desa).
Apabila kepala desa tidak melaksanakan kewajiban hukum tersebut di atas, maka yang bersangkutan diberikan sanksi kategori ringan seperti sanksi administratif berupa teguran dan sanksi kategori berat berupa pemberhentian sementara dan pemberhentian permanen.
Konklusi
Kewajiban normatif tentang kewajiban transparansi oleh pemerintah desa, harus dipandang sebagai perisai bagi bangsa dan negara dalam menciptakan landasan yang kuat bagi pemerintahan dan pembangunan desa menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Kewajiban hukum yang diatur dalam berbagai regulasi tidak boleh hanya dijadikan hiasan hukum semata, seolah kewajiban hukum telah berubah menjadi “tidak-wajib” hukum, artinya dilakukan baik dan kalaupun tidak juga tidak masalah.
Oleh karenanya, paradigma ini harus dirubah semua para pemangku kepentingan (stakeholder) terutama para kepala desa dan perangkatnya harus berkomitmen dan konsisten melaksanakan kewajiban hukumnya dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang transparan, karena itu merupakan hak konstitusional masyarakat desa yang tidak bisa dilanggar. Selain itu, Kepala Daerah melalui OPD terkait diharapkan dapat meningkatkan pengawasan secara maksimal dan merespon secara cepat dan tepat terhadap aduan masyarakat mengenai tidak transparannya pemerintah desa. Akhir kata, hukum harus dibuat, jika tidak maka orang yang kuat akan mempunyai kekuasaan tidak terbatas (inde datae leges be fortior omnia posset) dan keadilan diberikan kepada tiap orang apa yang menjadi haknya (Justitia est ius suum cuique tribuere).
wallahul muwafiq ila aqwamith thariq
Muadi Buloh
Sekjend PPDI Aceh Utara