Sistem Perbankan dan Realisasinya di Bumoe Syariat

Adsense

Peunawa

Iklan Berjalan

Iklan Slide

Sistem Perbankan dan Realisasinya di Bumoe Syariat

Aduen Alja
4/14/2023

Ilustrasi Sistem Perbankan di Aceh.(*)


Peunawa.com |Perbankan syariah di lingkungan Aceh sampai kini masih menjadi pro dan kontra di khalayak ramai. Sejak Qanun Nomor 11 Tahun 2018 mulai diberlakukan, bank-bank konvensional yang berada di lingkungan Aceh diwajibkan untuk hengkang kaki. Bank syariah menjadi satu-satu pilihan di dalam sistem perbankan bagi masyarakat Aceh.

Tentu saja, banyak sekali kendala yang dialami pada awal masa transisi. Belum lagi dengan adanya merger 3 bank besar yakni BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri, dan BNI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI). 

Beberapa kendala bahkan masih dirasa oleh masyarakat. Tetapi, dibalik itu juga terdapat kelebihan-kelebihan dari penerapan Qanun ini. 

Sebelum kita membahas panjang tentang perbankan, terlebih awal kita harus tahu dulu sejarah singkat perbankan syariah dunia dan kita harus belajar tentang mergernya 3 bank syariah BUMN, yaitu BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri, dan BNI Syariah. Hasil dari mergernya 3 bank ini adalah memunculkan 1 bank syariah yakni Bank Syariah Indonesia (BSI), masuk ke dalam 10 besar bank raksasa di Indonesia, menjamin tidak adanya PHK, serta memiliki 14, 9 juta nasabah.

Di Aceh sendiri kita sering sekali berbicara tentang kenyamanan nasabah dan haru sesuai dengan syariat islam. Tanpa hari kita tidak mendengar issue tersebut, baik kalangan akademisi, politisi dan masyarakat umum. Lebih lebih saat Aceh dilema ketika di berlakukan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS). 

Qanun ini sendiri berlaku sejak 4 Januari 2019, dimana Lembaga keuangan di Aceh wajib menyesuaikan dengan Qanun ini paling lama 3 tahun sejak diundangkan. Qanun ini berlaku yang pastinya untuk masyarakat/pendatang/Lembaga yang ada di Aceh. Dikarenakan hal itu, DJKN sendiri terkena imbas dari Qanun yang sedang diterapkan di lingkungan Aceh ini. 

Lelang Eksekusi Hak Tanggungan pada saat itu mengalami vakum cukup lama, yang juga disebabkan oleh pandemi COVID-19. Dalam pandangan yg lebih menyeluruh, Angga juga memaparkan pro dan kontra dari pelaksanaan Qanun ini. Beberapa pendapat positif seperti Qanun mendukung dengan baik prinsip islami yang mengharamkan riba dan beberapa dari bank telah memiliki unit usaha syariah (UUS) yang menunjukkan bahwa bank di Aceh telah siap melakukan konversi ke syariah. 

Tetapi, pendapat berlawanan juga muncul dari publik seperti penutupan rekening bank konvensional yang tidak berpayung hukum, kemudian sulitnya untuk melakukan akses ke bank konvensional dikarenakan bank tersebut hengkang dari Aceh, sistem yang dirasa belum mampu menyaingi bank konvensional, sulitnya pembiayaan, serta prosedur yang dirasa lebih rumit. 

Sehingga waktu 3 tahun yang disebutkan dalam Qanun dirasa sangat singkat apabila dibandingkan dengan banyaknya persiapan untuk mematangkan gagasan bank syariah di lingkungan Aceh ini.

Menilik dari hal lain tentang perbankan, kesiapan BSI dalam hal pembiayaan dan sistem sampai saat ini sudah sangat jauh berkembang.  Sejauh kita melihat hari ini, BSI sudah memfasilitasi beberapa hal lebih baik daripada bank konvensional, seperti misalnya saja dalam hal cicilan kredit dengan bunga 0 persen, kemudian KUR BSI yang dapat memberikan pembiayaan dalam jumlah besar. 

Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tidak dipungkiri menuai pro dan kontra di masyarakat. Bukan hanya di masyarakat Aceh saja, bahkan topik ini sudah menjadi perbincangan masyarakat diluar Aceh. Hengkangnya bank konvensional dan munculnya satu bank syariah besar yakni Bank Syariah Indonesia pastilah memiliki kelebihan dan kekurangan. Kita, sebagai pengguna jasa, terus berharap agar lembaga keuangan di Aceh dapat terus berkembang guna mensukseskan proses bisnis yang ada. (*)

Penulis  : Raihan Syakira 
Jurusan : Ilmu politik Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Syiah Kuala