Rencana Pembangunan 4 Batalyon Baru di Aceh: Rakyat Aceh Kembali Dihantui Masa Kelam?

Adsense

Peunawa

Iklan Berjalan

Iklan Slide

Rencana Pembangunan 4 Batalyon Baru di Aceh: Rakyat Aceh Kembali Dihantui Masa Kelam?

IsMed
5/02/2025

Penulis: Sarwalis 
Wakil Bidang Kajian Ideologi & dan Kabijakan Publik DPW Muda Seudang Bireuen



Bireuen - Rencana pembangunan empat batalyon teritorial di Provinsi Aceh kembali menggugah memori kelam masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dari konflik bersenjata puluhan tahun silam. Kami, dari DPW Muda Seudang Bireuen, dengan tegas menolak rencana ini. Bukan karena kami anti terhadap pertahanan nasional, melainkan karena kami percaya: perdamaian lebih kuat dibangun di atas kesejahteraan, bukan bayang-bayang laras senjata.

Trauma Sejarah dan Luka Lama yang Belum Sembuh

Aceh menyimpan luka sejarah yang dalam akibat konflik panjang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Konflik ini memakan ribuan korban jiwa dan menyisakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang hingga kini masih menjadi trauma kolektif. Menurut data Komnas HAM, terjadi berbagai pelanggaran serius seperti penghilangan paksa, penyiksaan, hingga pembunuhan di luar proses hukum sepanjang konflik berlangsung.

Rencana pembangunan empat batalyon teritorial—unit militer yang memiliki fungsi pertahanan di wilayah tertentu—berpotensi memicu trauma lama. Bagi masyarakat Aceh, kehadiran militer dalam jumlah besar bukan hanya simbol kekuatan, tapi juga pengingat pahit atas kontrol represif di masa lalu.

MoU Helsinki: Janji yang Harus Dijaga

Kesepakatan damai antara GAM dan Pemerintah Indonesia yang ditandatangani di Helsinki pada 15 Agustus 2005 adalah tonggak sejarah penting. Salah satu poin utama MoU Helsinki adalah pembatasan personel TNI di Aceh hanya sebanyak 14.700 prajurit, yang terdiri dari teritorial 14.700 dan non-organik 2.500 untuk waktu terbatas. (Sumber: MoU Helsinki 2005, Klausul 4.1 – 4.2)

Jika pembangunan batalyon baru ini berimplikasi pada penambahan jumlah pasukan, maka secara tidak langsung ini bertentangan dengan semangat dan substansi kesepakatan damai. Maka wajar jika muncul kekhawatiran bahwa pembangunan ini bisa memicu kemunduran proses perdamaian yang selama ini dijaga dengan susah payah.

Apa yang Dibutuhkan Aceh Sebenarnya?

Provinsi Aceh saat ini bukan menghadapi ancaman keamanan bersenjata, melainkan krisis kesejahteraan, pengangguran, dan stagnasi ekonomi. Data BPS Aceh (2023) menyebutkan bahwa tingkat pengangguran terbuka masih berada di angka 6,11%, lebih tinggi dari rata-rata nasional. Sementara itu, ketimpangan sosial terus menganga di banyak wilayah.

Alih-alih membangun batalyon baru, pemerintah pusat dan daerah seharusnya memprioritaskan pembangunan ekonomi, infrastruktur sipil, dan penciptaan lapangan kerja. Kita tidak butuh laras senjata, kita butuh lapangan kerja dan pemberdayaan pemuda Aceh!

Jangan Ulangi Sejarah

Kami menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat, pemuda, akademisi, dan pengambil kebijakan: jangan ulangi sejarah pahit Aceh. Hadirkan keadilan, bukan kekuatan senjata. Wujudkan keamanan lewat kepercayaan, bukan intimidasi. Dan yang paling penting, hormati janji damai yang telah disepakati bersama. Karena damai itu mahal, dan trauma tidak bisa dibungkam dengan pembangunan militer.