Takengon - Setiap pagi, saat kabut masih menggantung di perbukitan Wih Keruh, Afrian Nurfaizin memulai perjalanannya. Lelaki muda asal Kampung Jagong Jeget, Kecamatan Jagong Jeget ini menapaki jalan licin dan curam menuju kebun kopinya yang terpencil, perjalanan itu tidak mudah terkadang harus berjalan kaki melewati lumpur dan jalanan terjal. Tapi bagi Afrian, kebun itu adalah harapan, sekaligus bentuk cintanya pada tanah Gayo ini.
Afrian bukan petani yang mewarisi kebun dari Orang tua. Semua ia mulai dari nol, ia membuka lahan sendiri, membersihkan lahan, menanam bibit, dan merawatnya satu per satu. Saat ini, ribuan pohon kopi Varietas Arabika tumbuh subur di lahannya, menjadi bukti nyata dari kerja keras dan ketekunan.
“Saya memang tidak merawat kopi yang mutlak pemberian Orang tua, tapi saya ingin teruskan warisan semangatnya. Kopi Gayo ini punya cerita panjang yang nggak boleh putus” ujar Afrian Jumat, (04/07/2025)
Bagi Afrian, kopi bukan sekadar sumber penghasilan. Ia melihat kopi Gayo sebagai simbol identitas dan kebanggaan masyarakat Gayo. Tradisi menanam kopi sudah berlangsung sejak lama, dan ia merasa terpanggil untuk menjadi bagian dari cerita itu.
“Dulu orang tua saya cerita, leluhur kami hidup dari kopi. Sekarang giliran saya jaga itu. Biar nanti anak-anak juga tahu, bahwa kopi ini bagian dari kita,” lanjutnya.
Walau medan ke kebunnya sulit dan hasil panen belum selalu maksimal, Afrian tetap bersemangat. Ia berharap lebih banyak anak muda di kampungnya ikut turun ke kebun, bukan malah meninggalkan kampung.
“Bertani itu mulia. Kita bisa hidup dari tanah sendiri. Saya ingin tunjukkan, kalau jadi petani kopi juga bisa membanggakan,” tutup Afrian dengan senyum lelah, tapi penuh harap.
Dengan semangat seperti ini, Afrian bukan hanya menanam kopi. Ia sedang menanam masa depan.
Penulis : Robi Sugara