Menjadi pemimpin bukan tentang kekuasaan, bukan pula tentang kebanggaan pribadi. Lebih dari itu, menjadi pemimpin adalah sebuah kesempatan langka untuk menolong lebih banyak orang dengan kuasa yang dipegang, dengan keputusan yang dibuat, dan dengan keberanian untuk berpihak pada kebenaran.
Dalam setiap amanah kepemimpinan, selalu ada harapan-harapan kecil menanti untuk didengar. Itulah sebabnya, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Mendengarkan bukan tanda kelemahan, tapi bentuk kedewasaan. Seorang pemimpin yang mau mendengar adalah ia yang menyadari bahwa tidak semua jawaban berasal dari dirinya. Ia membuka hati untuk kritik, menerima masukan, dan memberi ruang bagi siapapun untuk bersuara. Karena dari mendengar, lahirlah keputusan yang adil dan berpihak.
Sebaliknya, pemimpin yang terlalu banyak berbicara sering kali kehilangan kepekaan. Ia sibuk membela diri, mengatur ini-itu, membuat janji demi janji namun lupa merasakan denyut kehidupan di bawah kepemimpinannya.
Padahal, pemimpin hadir bukan untuk menjadi pusat perhatian, tetapi menjadi tempat berlabuh bagi harapan dan kesulitan orang lain. Kepemimpinan sejati bukan tentang didengarkan, tetapi tentang kemampuan untuk memahami yang tidak terucap, melihat yang tak terlihat, dan membantu tanpa diminta.
Maka jika hari ini seseorang diberi kesempatan untuk memimpin, jangan sia-siakan. Gunakan jabatan itu sebagai jalan untuk menolong sebanyak mungkin orang, dengan cara yang sederhana tapi tulus mendengarkan mereka.
Karena sejatinya, pemimpin yang paling dihormati bukan yang paling banyak berbicara, tetapi yang paling banyak peduli.