Peunawa.com l Ada satu tanggal yang tidak boleh kita lupakan: 15 Agustus 2005. Hari itu, jauh di negeri dingin bernama Finlandia, dua pihak yang pernah berhadap-hadapan di medan perang akhirnya duduk di meja yang sama. Di Helsinki, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani sebuah dokumen tipis, tetapi berisi janji besar: mengakhiri perang.
Bagi yang pernah hidup di masa itu, hari itu seperti menghirup udara segar pertama setelah lama tenggelam di dalam air. Tidak ada lagi suara tembakan di malam hari. Tidak ada lagi razia senjata di jalan. Tidak ada lagi tatapan curiga di pos pemeriksaan. Rasa takut yang selama puluhan tahun menguasai Aceh tiba-tiba runtuh. MoU Helsinki mengubah segalanya.
Tetapi ada sesuatu yang jarang dibicarakan: perdamaian tidak selalu kuat hanya karena senjata telah dibungkus dan disimpan. Perdamaian itu seperti rumah kayu di tepi pantai; indah dipandang, nyaman ditinggali, tetapi rapuh bila tiang-tiangnya mulai lapuk. MoU adalah pintu masuk ke rumah itu, namun siapa yang menjaga tiangnya, memastikan atapnya tidak bocor, dan lantainya tidak reyot?
Generasi Z Aceh, yang lahir atau tumbuh besar setelah 2005, sering kali hanya mengenal Aceh yang tenang. Mereka tidak pernah merasakan takut keluar rumah malam-malam. Mereka tidak pernah berhenti di jalan karena ada pemeriksaan senjata. Mereka tidak pernah tidur diiringi suara tembakan. Damai bagi mereka seperti udara—selalu ada, selalu gratis, dan dianggap akan terus begitu.
Inilah titik buta pertama kita: menganggap damai adalah sesuatu yang permanen, padahal ia sangat rapuh. MoU memang menghentikan perang, tapi ia tidak otomatis menghapus kemiskinan. Angka kemiskinan di Aceh masih tinggi, meski setiap tahun miliaran rupiah Dana Otonomi Khusus mengalir. Ketika perut kosong dan peluang tak merata, rasa kecewa bisa berubah menjadi amarah. Dan kita tahu, sejarah di banyak tempat menunjukkan bahwa amarah seperti ini sering menjadi bahan bakar konflik baru.
Titik buta lainnya ada di politik. MoU memberi kita hak untuk punya partai lokal, ruang untuk memperjuangkan aspirasi sendiri. Namun, terlalu sering politik lokal hanya menjadi arena perebutan kursi, bukan ruang untuk memperjuangkan rakyat. Banyak anak muda hanya muncul saat pesta demokrasi, tapi jarang bertahan untuk mengawal kebijakan atau mempertanyakan ke mana uang rakyat mengalir.
Yang lebih mengkhawatirkan, memori kolektif kita mulai pudar. Kisah tentang bagaimana sulitnya masa perang, bagaimana negosiasi damai terjadi, atau bagaimana perasaan saat tsunami memaksa dunia menoleh ke Aceh, semakin jarang diceritakan. Tanpa cerita itu, generasi mendatang akan kehilangan alasan mengapa damai ini harus dijaga mati-matian. Mereka akan melihat MoU hanya sebagai lembaran kertas berdebu di arsip pemerintah.
Dan ada satu titik buta yang paling mematikan: penyalahgunaan dana publik. Ketika uang yang seharusnya membangun sekolah, membuka lapangan kerja, atau memperbaiki jalan malah hilang di tangan oknum, itu bukan hanya korupsi. Itu pengkhianatan terhadap janji damai. MoU tidak akan berarti jika yang mengelola hasilnya justru merusaknya.
Karena itu, tugas kita, generasi yang hidup di masa damai, bukan hanya menikmati hasilnya. Kita harus merawatnya. Kita harus bicara tentang sejarah ini di sekolah, di media sosial, di warung kopi. Kita harus berani bertanya dan mengawasi penggunaan uang rakyat. Kita harus menciptakan peluang baru—entah itu lewat usaha kecil, teknologi, atau gerakan sosial—yang membuat rakyat Aceh mandiri dan percaya pada masa depan.
MoU Helsinki adalah warisan, tetapi warisan itu bisa hilang jika kita membiarkannya. Generasi sebelum kita telah mengakhiri perang dengan darah dan air mata. Sekarang giliran kita untuk memastikan perdamaian tidak hanya bertahan, tapi berbuah. Kalau kita tidak menjaga, blind spot itu akan membesar menjadi lubang yang menelan semua pencapaian.
Damai bukan sekadar ketiadaan perang. Damai adalah janji. Dan janji itu, sekarang, ada di tangan kita. Tulisan ini dibuat dari refleksi Peringatan MoU Helsinki Aceh yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Bireuen di Masjid Agung Sultan Jeumpa Bireuen Kamis, 14 Agustus 2025
*Penulis adalah ASN pada Pemerintah Kabupaten Bireuen